Pada abad ke-21, pendidikan tidak lagi semata-mata bertumpu pada kemampuan membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Salah satu literasi baru yang semakin dianggap penting adalah literasi digital, termasuk di dalamnya keterampilan berpikir komputasional. Computational Thinking (CT) merupakan kemampuan memecah persoalan menjadi langkah-langkah logis dan sistematis, layaknya mesin komputer. Dalam konteks pendidikan anak, terutama di tingkat dasar dan menengah, CT dapat menjadi fondasi penting dalam membentuk cara berpikir kritis, solutif, dan kreatif sejak dini. Namun demikian, penerapan konsep ini tidak boleh dilakukan secara seragam dan mengabaikan konteks lokal di mana anak-anak tumbuh dan belajar.
Sayangnya, banyak pendekatan pembelajaran koding atau pemrograman saat ini mengadopsi model luar negeri yang tidak sepenuhnya selaras dengan budaya dan pengalaman anak-anak Indonesia, terlebih di daerah seperti Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Anak-anak yang akrab dengan alam, tradisi, dan permainan lokal, seringkali merasa asing saat disodori materi abstrak tentang variabel, algoritma, atau logika pemrograman tanpa kaitan dengan kehidupan mereka. Hal ini menciptakan jarak kognitif dan emosional antara anak dengan materi belajar, yang pada akhirnya dapat menurunkan minat belajar mereka terhadap koding atau teknologi pada umumnya.
Untuk menjembatani tantangan ini, diperlukan pendekatan kontekstual yang mengintegrasikan budaya lokal ke dalam pengajaran pola pikir komputasional. Dalam konteks Polewali Mandar, terdapat banyak kebiasaan dan permainan tradisional yang secara alami mengandung prinsip-prinsip berpikir komputasional. Dua contoh yang sangat relevan adalah permainan Mattolu dan Manggasing. Keduanya bukan hanya permainan fisik, tetapi juga memuat unsur strategi, logika, dan perhitungan sistematis yang sangat erat dengan konsep CT.
Permainan Mattolu, yang populer di kalangan anak-anak SD di Polewali Mandar, adalah sebuah permainan menjaga garis atau wilayah pertahanan dari upaya penetrasi lawan. Anak-anak harus berpikir cepat, mengidentifikasi celah pergerakan lawan, dan membuat keputusan secara taktis untuk mempertahankan garis atau mencuri poin. Dalam perspektif CT, kegiatan ini melibatkan pattern recognition (mengenali pola gerakan lawan), decomposition (memecah strategi ke dalam langkah-langkah kecil), serta algorithm design (merancang urutan tindakan untuk menyerang atau bertahan). Anak-anak yang memainkan Mattolu tanpa sadar sudah menerapkan dasar-dasar berpikir seperti seorang programmer.
Sementara itu, permainan Manggasing yang dimainkan oleh remaja dan anak-anak SMP menyimpan kompleksitas yang lebih tinggi. Proses pembuatan gasing membutuhkan pemahaman tentang ukuran, bentuk, dan keseimbangan yang tepat. Ini melatih keterampilan numerasi dan geometri. Saat dimainkan dalam kompetisi dua regu, gasing dilempar dengan tali ke arena. Keberhasilan gasing dalam bertahan atau menjatuhkan gasing lawan sangat bergantung pada sudut lemparan, kecepatan puntir, serta taktik saat bermain. Di sinilah muncul elemen simulation, logic, dan abstraction—konsep kunci dalam computational thinking—yang seharusnya dikenali dan dimanfaatkan dalam pendidikan.
Kegiatan pembelajaran yang mengaitkan permainan tradisional ini dengan konsep CT dapat dilakukan melalui berbagai strategi. Misalnya, anak-anak SD diajak menyusun urutan langkah permainan Mattolu dalam bentuk pseudocode. Mereka dapat menggambarkan diagram alur (flowchart) untuk strategi bertahan atau menyerang, yang nantinya dapat disimulasikan menggunakan aplikasi seperti Scratch. Di tingkat SMP, anak-anak dapat membuat simulasi putaran gasing dalam bentuk animasi atau bahkan merancang prototipe digital manggasing dengan microcontroller seperti micro:bit untuk memahami logika gerak dan gaya sentrifugal.
Penggunaan alat bantu teknologi bukan dimaksudkan untuk menggantikan pengalaman tradisional, melainkan sebagai sarana untuk merekam, memvisualisasi, dan mengkonseptualkan ulang pengalaman tersebut ke dalam kerangka pikir ilmiah dan logis. Hal ini bukan hanya menjembatani budaya lokal dengan teknologi global, tetapi juga memperkuat akar identitas anak di tengah gempuran budaya digital yang seragam dan homogen.
Pendekatan ini telah diuji dalam sebuah studi kecil dengan kombinasi data kualitatif dan kuantitatif terhadap 74 siswa SD dan SMP di tiga kecamatan di Polewali Mandar. Melalui observasi kelas, wawancara guru, serta angket pra dan pasca pembelajaran, diperoleh temuan bahwa pemanfaatan konteks lokal dalam pengajaran CT meningkatkan partisipasi aktif sebesar 41%, dan pemahaman konsep dasar algoritma meningkat signifikan. Guru juga melaporkan bahwa siswa lebih mudah menjelaskan logika alur karena merasa dekat dengan materi. Selain itu, anak-anak menunjukkan kemampuan mendeskripsikan langkah-langkah permainan mereka dalam bentuk logika terstruktur—sesuatu yang sebelumnya dianggap sulit saat menggunakan contoh abstrak seperti “robot pencari jalan”.
Dari sisi data kualitatif, narasi anak-anak dalam diskusi kelompok menunjukkan peningkatan pemahaman tentang strategi, urutan tindakan, serta kesadaran terhadap pentingnya proses berpikir dalam permainan. Mereka mulai memahami bahwa dalam Mattolu, bukan hanya kecepatan lari yang penting, tetapi juga pengaturan posisi dan langkah mundur untuk mengelabui lawan. Dalam Manggasing, mereka mulai membahas sudut lemparan dan cara membaca arah putaran lawan. Semua ini adalah bentuk tumbuhnya pola pikir komputasional secara alami dan kontekstual, yang tidak terbangun saat pembelajaran dilakukan tanpa pendekatan budaya.
Keterpaduan antara budaya lokal dan pendidikan teknologi ini selaras dengan pendekatan glokalitas dalam pendidikan—berpikir global, bertindak lokal. Anak-anak Sulawesi Barat dapat belajar koding, memahami logika komputer, dan menjadi bagian dari dunia digital, tanpa harus meninggalkan permainan dan tradisi yang membentuk karakter mereka sejak kecil. Justru, kekayaan budaya lokal seperti Mattolu dan Manggasing dapat menjadi kekuatan khas dalam proses pembelajaran berbasis teknologi.
Diharapkan dengan pendekatan ini, anak-anak tidak hanya menjadi melek digital, tetapi juga menjadi pribadi yang sadar budaya, kreatif, dan memiliki daya saing berbasis identitas lokal. Ketika teknologi tumbuh bersama budaya, maka pendidikan tidak hanya melahirkan pengguna teknologi, tetapi juga pencipta solusi berbasis kearifan lokal. Inilah pendidikan yang tidak sekadar mencerdaskan, tapi juga membudayakan.
Dengan demikian, penting bagi semua pemangku kepentingan—guru, orang tua, pemerintah daerah, hingga komunitas teknologi—untuk mendukung model pendidikan yang mengakar namun tetap terbuka. Karena sejatinya, berpikir komputasional bukan hanya kemampuan masa depan, tetapi juga jembatan untuk memahami dan merawat masa lalu yang kaya makna.
Penulis:
Bang Mihram
Wakil Rektor III IHS | Ketua Relawan TIK Sulawesi Barat
